Makna Adzan Dan Sejarahnya


Makna Dan Sejarah Adzan Dalam Kitab Al Minhaj Sarah Sahih Muslim


Sejarah Adzan dan juga makna adzan yang terkandung di dalamnya, kadang kita lupakan. Bahwa Adzan yang kita kumandangkan di setiap kali mau Sholat Wajib tentu ada sejarah dan makna yang terkandung di dalamnya.

Lalu apa makna dan bagaimana sejarah adzan itu terjadi, sehingga menjadi sebuah Syariat dalam Agama Islam untuk mengumandangkan Adzan..?

Penjelasanya kita akan merujuk kepada kitab Al-Minhaj Syarah Hadits Sahih Muslim karya Imam An-Nawawi Rahimahullah.

Imam Nawawi Rahimahullah berkata:

قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ الْأَذَانُ الْإِعْلَامُ قَالَ اللَّهُ تعالى وأذان من الله ورسوله وقال تعالى فأذن مؤذن وَيُقَالُ الْأَذَانُ وَالتَّأْذِينُ وَالْأُذَيْنُ قَوْلُهُ (كَانَ الْمُسْلِمُونَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَاةَ) قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَعْنَى يَتَحَيَّنُونَ يُقَدِّرُونَ حِينَهَا لِيَأْتُوا إِلَيْهَا فِيهِ وَالْحِينُ الْوَقْتُ مِنَ الزَّمَانِ قَوْلُهُ (فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا) قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ هُوَ الَّذِي يَضْرِبُ بِهِ النَّصَارَى لِأَوْقَاتِ صَلَوَاتِهِمْ وَجَمْعُهُ نَوَاقِيسُ وَالنَّقْسُ ضَرْبُ النَّاقُوسِ

Berkata Ali Bahasa: makna adzan adalah menginformasikan (al-i'laam). Allah Ta'ala berfirman:

وأذان من الله ورسوله

"Dan satu maklumat (informasi) dari Allah dan Rasul-Nya,.." (QS. AtTaubah: 3)

Dan firman-Nya

فأذن مؤذن

"Kemudian penyeru (malaikat) mengumumkan di antara mereka..." (QS. Al-A'raf:44).

Dikatakan bahwa menginformasikan disebutkan dengan kata (الْأَذَانُ وَالتَّأْذِينُ وَالْأُذَيْن)

Imam Muslim menyebutkan:

(كَانَ الْمُسْلِمُونَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَاةَ)

Al-Qadhi Iyadh Rahimahutlah berkata, "Makna (يَتَحَيَّنُونَ) adalah menentukan waktunya agar mereka dapat mendatanginya. Makna (وَالْحِينُ) adalah waktu.

Di dalam hadits disebutkan bahwa sebagian mereka mengatakan, (اتَّخِذُوا نَاقُوسًا), Ahli bahasa mengatakan bahwa makna (نَاقُوسًا) lonceng atau gong yang ditabuh oleh kaum Nasrani pada saat mereka hendak melaksanakan sembahyang. Bentuk jamaknya ialah' nawaaqiis'. Sedangkan makna (وَالنَّقْسُ) adalah memukul lonceng atau gong.

قَوْلُهُ (كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَاةَ وَلَيْسَ يُنَادِي بِهَا أَحَدٌ فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا وَقَالَ بَعْضُهُمْ قَرْنًا فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَوَلَا تَبْعَثُونَ رَجُلًا يُنَادِي بِالصَّلَاةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُمْ يَا بِلَالُ فَنَادِ بِالصَّلَاةِ(

Abdullah bin Umar berkata, 'Ketika kaum muslimin datang ke Madinah, kemudian mereka berkumpul. Lalu mereka menentukan waktu shalat, sementara tidak ada satu pun dari mereka yang menyeru untuk shalat (adzan). Kemudian, pada suatu hari mereka memperbincangkan masalah tersebut. Sebagian dari mereka berkata, "Gunalanlah lonceng seperti yang dilakulun oleh kaum Nasrani "sebagian lagi mengatalun, " (Gunakanlah) tanduk seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi." Kemudian Umar berkata, " Mengapa kalian tidak mengutus seseorang yang menyeru untuk melaksanakan shalat?" Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Wahai Bilal, berdirilah dan lantunkanlah panggilan untuk shalat ! "

فِي هَذَا الْحَدِيثِ فَوَائِدُ مِنْهَا مَنْقَبَةٌ عَظِيمَةٌ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ فِي إِصَابَتِهِ الصَّوَابَ وَفِيهِ التشاور في الامور لاسيما الْمُهِمَّةُ وَذَلِكَ مُسْتَحَبٌّ فِي حَقِّ الْأُمَّةِ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا هَلْ كَانَتِ الْمُشَاوَرَةُ وَاجِبَةً عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ كَانَتْ سُنَّةً فِي حَقِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا فِي حَقِّنَا وَالصَّحِيحُ عِنْدَهُمْ وُجُوبُهَا وَهُوَ الْمُخْتَارُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى وَشَاوِرْهُمْ في الامر وَالْمُخْتَارُ الَّذِي عَلَيْهِ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ وَمُحَقِّقُو أَهْلِ الْأُصُولِ أَنَّ الْأَمْرَ لِلْوُجُوبِ وَفِيهِ أَنَّهُ يَنْبَغِي لِلْمُتَشَاوِرِينَ أَنْ يَقُولَ كُلٌّ مِنْهُمْ مَا عِنْدَهُ ثُمَّ صَاحِبُ الْأَمْرِ يَفْعَلُ مَا ظَهَرَتْ لَهُ مَصْلَحَةً وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Di dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran yang dapat dipetik diantaranya:

1. Menerangkan tentang kelebihan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, yaitu ketepatannya dalam mengutarakan suatu pendapat.

2. Pentingnya bermusyawarah dalam memutuskan suatu perkara atau masalah, terutama perkara yang sangat penting. Berdasarkan kesepakatan para ulama, musyawarah dianjurkan bagi kaum muslimin.

Sahabat-sahabat madzhab kami berselisih pendapat mengenai musyawarah, yaitu apakah hukum musyawarah wajib bagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam? Ataukah sunnah sebagaimana disunnahkan bagi umatnya? Menurut pendapat yang shahih mengenai hal ini bahwa musyawarah adalah wajib bagi beliau dan inilah pendapat yang dipilih oleh mereka. Allah Ta'ala berfirman,

وَشَاوِرْهُمْ في الامر

"...dan bermusyawarahlah dengan merela dalam urusan itu.,." (QS. Ali Imran: 159). Sebagaimana pendapat para ahli fikih, ahli tahqiq serta ahli ushul bahwa perintah yang terdapat dalam ayat tersebut menunjukkan suatu yang wajib.

3. Anjuran bagi mereka yang terlibat dalam musyawarah untuk mengutarakan pendapat mereka masing-masing. Sedangkan yang memutuskan di antara pendapat-pendapat tersebut diserahkan pada pemimpin dengan mempertimbangkan berbagai kemashlahatan.

وَأَمَّا قَوْلُهُ (أَوَلَا تَبْعَثُونَ رَجُلًا يُنَادِي بِالصَّلَاةِ) فَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رَحِمَهُ اللَّهُ ظَاهِرُهُ أَنَّهُ إِعْلَامٌ لَيْسَ عَلَى صِفَةِ الْأَذَانِ الشَّرْعِيِّ بَلْ إِخْبَارٌ بِحُضُورِ وَقْتِهَا وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ مُحْتَمَلٌ أَوْ مُتَعَيَّنٌ

Umar berkata, " Mengapa kalian tidak mengutus seseorang yang menyeru untuk melaksanakan shalat? " Al-Qadhi Iyadh Rahimahullalr mengatakan bahwa secara zhahir ucapan Umar tersebut mengandung makna mengabarkan atau menginformasikan pada kaum muslimin yang lain, bukan menginformasikan dalam bentuk adzan sebagaimana yang telah diketahui. Akan tetapi, maknanya di sini adalah pemberitahuan secara lisan atau mengumumkan kepada kaum muslimin yang lain bahwa waktu shalat telah tiba. Apa yang dikatakan oleh Al-Qadhi ini masih berupa kemungkinan atau bahkan telah ditentukan.

فَقَدْ صَحَّ فِي حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ فِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِمَا أَنَّهُ رَأَى الْأَذَانَ فِي الْمَنَامِ فَجَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخْبِرُهُ بِهِ فَجَاءَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ الَّذِي رَأَى وَذَكَرَ الْحَدِيثَ

Telah diriwayatkan secara shahih tentang hadits Abdultah btnZaid bin'Abdi Rabbihi yang disebutkan dalam Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya, " Bahwa Abdullahbin Zaid telahbermimpi adzan dalam tidurnya. Ialu ia mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mengabarkan apa yang diimpikannya. Setelah itu, datanglah Umar Radhiyallahu Anhu kemudian berkata, "Wahni Rasulullah! Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sungguh saya telah bermimpi sebagaimana yang diimpikannya..."

فَهَذَا ظَاهِرُهُ أَنَّهُ كَانَ فِي مَجْلِسٍ آخَرَ فَيَكُونُ الْوَاقِعُ الْإِعْلَامَ أَوَّلًا ثُمَّ رَأَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ الْأَذَانَ فَشَرَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ إِمَّا بِوَحْيٍ وَإِمَّا بِاجْتِهَادِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَذْهَبِ الْجُمْهُورِ فِي جَوَازِ الِاجْتِهَادِ لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ هُوَ عَمَلًا بِمُجَرَّدِ المنام هذا ما لايشك فِيهِ بِلَا خِلَافٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Secara zhahh, hadits ini menunjukkan bahwa kejadian itu berada dalam suatu majlis yang berbeda. Jadi, saat pertama kali sebagai penentu datangnya waktu shalat adalah dengan cara mengumumkannya.

Kemudian Abdullah bn Zaid bermimpi adzan, lalu disyariatkanlah adzan setelah itu oleh Rasulullah. Pensyariatan adzan di sini bisa karena wahyu atau karena berdasarkan pada ijtihad Rasulullah sendiri.

Sebagaimana pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa Rasulullah boleh berijtihad sebab mimpi saja tidak bisa dijadikan dalil dalam melakukan suatu amalan. Selain itu, tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang permasalahan ini.

قَالَ التِّرْمِذِيُّ ولايصح لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ هَذَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ غَيْرُ حَدِيثِ الْأَذَانِ وَهُوَ غَيْرُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ الْمَازِنِيِّ ذَاكَ لَهُ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ فِي الصَّحِيحَيْنِ وَهُوَ عَمُّ عباد بْنِ تَمِيمٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

At-Tirmidzi mengatakan bahwa tidak ada hadits yang shahih dari Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi selain hadits adzan. Selain itu, ia bukanlah Abdullah bin Zaid bin Ashim Al-Mazini; sebab ia memiliki banyak hadits yang disebutkan dalam Ash-Shahihain, dan ia adalah paman dari Ibad bin Tamim.

HUKUM ADZAN SAMBIL DUDUK DAN TIDURAN


وَأَمَّا قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم (يابلال قُمْ فَنَادِ بِالصَّلَاةِ) فَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ رَحِمَهُ اللَّهُ فِيهِ حُجَّةٌ لِشَرْعِ الْأَذَانِ مِنْ قِيَامٍ وأنه لايجوز الْأَذَانُ قَاعِدًا قَالَ وَهُوَ مَذْهَبُ الْعُلَمَاءِ كَافَّةً إِلَّا أَبَا ثَوْرٍ فَإِنَّهُ جَوَّزَهُ وَوَافَقَهُ أَبُو الْفَرَجِ الْمَالِكِيُّ

Selanjutnya, Rasulull ah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda, " Wahai Bilal, berdirilah dan lantunkanlah panggilan untuk shalat!" Sabda beliau ini mennnjukkan tentang disyariatkannya adzan dari posisi berdiri dan tidak boleh Adan dengan posisi duduk. Berkata Imam Qadhi Iyad pendapat ini adalah pendapat seluruh ulama kecuali Abu Tsur sesungguhnya beliau membolehkan dzan dengan duduk dan serasi dengan pendapatnya Abul Faraj Al Makki.

وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ ضَعِيفٌ لِوَجْهَيْنِ أَحَدِهِمَا أَنَّا قَدَّمْنَا عَنْهُ أَنَّ الْمُرَادَ بِهَذَا النِّدَاءِ الْإِعْلَامُ بِالصَّلَاةِ لَا الْأَذَانُ الْمَعْرُوفُ وَالثَّانِي أَنَّ الْمُرَادَ قُمْ فَاذْهَبْ إِلَى مَوْضِعٍ بَارِزٍ فَنَادِ فِيهِ بِالصَّلَاةِ لِيَسْمَعَكَ النَّاسُ مِنَ الْبُعْدِ وَلَيْسَ فِيهِ تَعَرُّضٌ لِلْقِيَامِ فِي حَالِ الْأَذَانِ لَكِنْ يُحْتَجُّ لِلْقِيَامِ فِي الْأَذَانِ بِأَحَادِيثَ مَعْرُوفَةٍ غَيْرِ هَذَا

Dan pendapat ini yang dikatakan Imam Qadhi Iyad adalah lemah dengan dua alasan, salahsatunya adalah bahwasanya kamai telah berlalu akan pembahasan adzan bahwasanya maksud dari panggilan ini adalah pemberitahuan akan shalat bukan adzan yang sudah dikenal.

Dan yang kedua adalah maksud dari perintah berdiri adalah pergilah ketempat yang terbuka dan panggilah (adzan) padanya akan shalat agar manusia mendengarkanmu dari jauh. Dan ini bukanlah ditunjukan untuk berdiri ketika adzan akan tetapi diperlukan untuk berdiri dengan alasan berbagai hadits yang dikenal selain hadits ini.

وَأَمَّا قَوْلُهُ مَذْهَبُ الْعُلَمَاءِ كَافَّةً أَنَّ الْقِيَامَ وَاجِبٌ فَلَيْسَ كَمَا قَالَ بَلْ مَذْهَبُنَا الْمَشْهُورُ أَنَّهُ سُنَّةٌ فَلَوْ أَذَّنَ قَاعِدًا بِغَيْرِ عُذْرٍ صَحَّ أَذَانُهُ لَكِنْ فَاتَتْهُ الْفَضِيلَةُ وَكَذَا لَوْ أَذَّنَ مُضْطَجِعًا مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَى الْقِيَامِ صَحَّ أَذَانُهُ عَلَى الْأَصَحِّ لِأَنَّ الْمُرَادَ الْإِعْلَامُ وَقَدْ حَصَلَ وَلَمْ يَثْبُتْ فِي اشْتِرَاطِ الْقِيَامِ شَيْءٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Adapun perkataan Imam Qadhi Iyadh Madzhab Seluruh Ulama sesungguhnya berdiri ketika adzan adalah wajib, maka tidaklah seperti yang dikatakan Imam Qadhi Iyad, akan tetapi Madzhab kami yang Mashur bahwa sesungguhnya berdiri saat adzan adalah sunnah, maka apabila seseorang adzan sambil duduk tanpa ada udzur, maka sah adzanya, akantetapi fadilahnha hilang.

Begitu juga apabila seseorang adzan sambila tiduran berbaring dengan masih mampu untuk berdiri maka sah adzannya menurut pendapat yang sahih, karena tujuan adalah memberitahukan dan telah hasil maksud itu. Dan tidak ada ketetapan dalam pensayaratan apapun untuk berdiri.

Wallahu A'lam

النووي، شرح النووي على مسلم، ٧٧/٤

Sumber

Kitab Syarah Nawawi ala Muslim juz 4 hal 77


SEBAB BILAL YANG DIPERINTAHKAN ADZAN


Imam Nawawi Rahimahullah berkata:

وَأَمَّا السَّبَبُ فِي تَخْصِيصِ بِلَالٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِالنِّدَاءِ وَالْإِعْلَامِ فَقَدْ جَاءَ مُبَيَّنًا فِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِمَا فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَلْقِهِ عَلَى بِلَالٍ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ قِيلَ مَعْنَاهُ أَرْفَعُ صَوْتًا وَقِيلَ أَطْيَبُ فَيُؤْخَذُ مِنْهُ اسْتِحْبَابُ كَوْنِ الْمُؤَذِّنِ رَفِيعَ الصَّوْتِ وَحَسَنَهُ وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Adapun sebab penentuan Bilal Radhiyallahu Anhu dengan mengumandangkan panggilan adzan, maka telah datang penjelasan dalam sunan Abi Daud dan Imam At Tirmidzi dan selain keduanya dalam Hadits Sahih, Hadits Abdullah bin Zaid sesungguhnya Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada Abdullah ajarkanlah kepada Bilal karena dia suaranya lebih lantang daripada dirimu, dikatakan maksudnya adalah suaranya lebih tinggi (keras) dan dikatakan maksudnya adalah lebih baik. Maka diambilah dari hadits itu Sunnah bagi seorang yang adzan suaranya lantang dan baik dan ini adalah disepakati Ulama.

قَالَ أَصْحَابُنَا فَلَوْ وَجَدْنَا مُؤَذِّنًا حَسَنَ الصَّوْتِ يَطْلُبُ عَلَى أَذَانِهِ رِزْقًا وَآخَرَ يَتَبَرَّعُ بِالْأَذَانِ لَكِنَّهُ غَيْرُ حَسَنِ الصَّوْتِ فَأَيُّهُمَا يُؤْخَذُ فِيهِ وَجْهَانِ أَصَحُّهُمَا يُرْزَقُ حَسَنُ الصَّوْتِ وَهُوَ قول بن شُرَيْحٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Berkata Ashab kami (Syafi'iyah): jika kami menemukan orang yang adzan yang baik suaranya meminta dari adzanya itu upah dan yang lainya sukarelawan dengan adzanya tetapi suaranya tidak bagus, maka manakah yang diambil (dipilih), ada dua pendapat, pendapat yang paling sahih adalah yang di beri upah yang baik suaranya yaitu pendapatnya Ibnu Syuraih.

النووي، شرح النووي على مسلم، ٧٧/٤

Sumber


Kitab Syarah Nawawi ala Muslim juz 4 hal 77

HIKMAH DIKUMANDANGKAN ADZAN

Imam Nawawi Rahimahullah berkata:

وَذَكَرَ الْعُلَمَاءُ فِي حِكْمَةِ الْأَذَانِ أَرْبَعَةَ أَشْيَاءٍ إِظْهَارُ شِعَارِ الْإِسْلَامِ وَكَلِمَةِ التَّوْحِيدِ وَالْإِعْلَامُ بِدُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ وَبِمَكَانِهَا وَالدُّعَاءُ إلى الجماعة والله أعلم

Ulama telah menyebutkan dalam Hikmah dikumandangkan Adzan ada 4 macam.

Menampakan syiar Islam
Menampakan kalimat Tauhid
Memberitahukan Akan Masuk waktu Shalat dan tempat shalat
Memanggil kepada persatuan / berjamaah

Wallahu A'lam

النووي، شرح النووي على مسلم، ٧٧/٤

Sumber

Kitab Syarah Nawawi Ala Muslim juz 4 hal 77

0 Komentar

Posting Komentar