Hukum Melaksanakan Shalat Ghaib


Shalat Ghaib (Shalat untuk Orang yang Wafat)


Shalat Ghaib, atau sering disebut Shalat Janazah Ghaib, merujuk pada pelaksanaan shalat bagi seseorang yang telah wafat dalam keadaan yang jasadnya tidak hadir di tempat shalat. Ini adalah bentuk doa dan penghormatan terhadap orang yang telah meninggal dunia. Dalam ulasan ini, kita akan menjelajahi makna, hukum, serta tata cara melaksanakan Shalat Ghaib dalam Islam.

Makna dan Tujuan Shalat Ghaib:


Shalat Ghaib adalah ekspresi simpati, doa, dan penghormatan terakhir untuk orang yang telah wafat. Tujuannya adalah mendoakan agar roh almarhum mendapatkan rahmat dan pengampunan dari Allah, serta untuk mengungkapkan dukacita atas kepergian mereka. Meskipun jasad almarhum tidak hadir, shalat ini mencerminkan hubungan yang terjalin antara individu yang masih hidup dengan individu yang telah meninggal.

Hukum Shalat Ghaib:


Mayoritas ulama sepakat bahwa pelaksanaan Shalat Ghaib diperbolehkan dalam Islam. Ini didukung oleh hadis-hadis Nabi Muhammad yang meriwayatkan bahwa dia sendiri melaksanakan shalat semacam itu untuk orang-orang yang meninggal dunia dalam situasi tertentu. Namun, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang apakah Shalat Ghaib harus dianggap sebagai kewajiban atau sunnah mu'akkadah (sunnah yang sangat ditekankan).

Tata Cara Melaksanakan Shalat Ghaib:


Niat: Sebelum memulai shalat, seseorang perlu berniat dalam hati untuk melaksanakan Shalat Ghaib untuk orang yang wafat.

Bacaan Takbir: Seperti shalat lainnya, Shalat Ghaib dimulai dengan membaca takbir (Allahu Akbar), bedanya pada Shalat Janazah maupun Ghaib dilaksanakan dengan empat kali takbir tanpa ruku sujud dan duduk.

Takbir Pertama: Setelah takbir, seseorang membaca Al-Fatihah

Takbir Kedua: Setelah membaca Al-Fatihah, seseorang membaca Sholawat atas Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi wa Sallam

Takbir Ketiga: Setelah membaca Sholawat kemudian membaca doa singkat (yang sudah diajarkan ulama) yang mengandung permohonan ampunan dan rahmat dari Allah untuk orang yang meninggal.

Takbir Keempat: Setelah selesai takbir Ketiga, seseorang membaca doa lagi untuk kebaikan mayit dan kebaikan orang yang di tinggal

Salam: Setelah selesai takbir Keempat, seseorang membaca salam sebagimana salamnya orang yang shalat dengan melirikan wajah ke kanan dan ke kiri

Pentingnya Niat dan Doa Pribadi:


Selain tata cara formal Shalat Ghaib, penting juga untuk memiliki niat yang tulus dan mendoakan almarhum secara pribadi. Dalam doa tersebut, seseorang dapat memohon kepada Allah untuk memberikan ampunan, rahmat, dan tempat yang baik bagi roh almarhum di akhirat.

Kesimpulan:


Shalat Ghaib adalah ekspresi penghormatan dan doa untuk orang yang telah wafat. Meskipun tata cara pelaksanaannya mirip dengan shalat lainnya, tujuannya khusus untuk mengenang dan mendoakan almarhum. Melalui Shalat Ghaib, umat Muslim menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan mengingat pentingnya menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang telah meninggal dunia.

Hukum Shalat Gha’ib | Fiqh Tradisionalis – Bab III Shalat

Soal:

Ketika seorang ulama besar dan karismatik dipanggil pulang ke rahmatullah, seluruh umat akan merasa kehilangan panutannya. Sebagai rasa turut berduka dan belasungkawa, kaum muslimin yang tidak sempat melakukan shalat jenazah secara langsung, biasanya melakukan shalat gha’ib untuk mengantar kepulangan beliau kepangkuan Ilahi. Bagaimana hukum melakukan shalat gha’ib tersebut?

Jawab:

Shalat gha’ib adalah shalat jenazah yang jenazahnya tidak berada di hadapannya, tapi berada di lain tempat. Bisa jadi berada di desa lain ataupun di negara lain. Nabi Muhammad SAW pernah melaksanakan shalat ghâ’ib. Dikisahkan dalam sebuah Hadits:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نعى النجاشي في اليوم الذي مات فيه خرج إلى المصلى فصف بهم وكبر أربعا . (صحيح البخاري. رقم١١٦٨).

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, “Sesungguhnya Nabi SAW memberitahukan kepada kaum muslimin tentang wafatnya Raja Najasyi pada hari meninggalnya Raja Habasyah tersebut. Lalu beliau berangkat ke mushalla bersama orang-orang. Para sahabat membuat shaf (di belakangnya) dan Nabi SAW pun bertakbir empat kali.” (Shahih al-Bukhârî, [1168])

Hadits diatas secara tegas menjelaskan bahwa shalat gha’ib itu termasuk sunnah Rasul. Maka, tidak ada alasan untuk melarangnya, dan hendaknya kita sebagai umat beliau mengikuti jejaknya. DR. Muhammad Bakr Ismâ’il mengatakan:

تجوز صلاة الجنازة عن الغائب عند الشافعية وكثير من علماء الحنابلة فقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى على النجاشي ملك الحبشة حين علم بموته. وصلى على زيد بن حارثة وجعفر بن أبي طالب رضي الله عنهما حين علم استشهادهما بموته (وهي اسم مكان وقعت فيها معركة حامية وغير متكافئة بين المسلمين والروم. (الفقه الواضح من الكتاب والسنة، ج 1 ص ٤١٧)

“Kalangan Syafi’iyyah dan banyak dari ulama Hanbali membolehkan shalat ghaib. (Hal ini) Telah terbukti bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat gha’ib untuk Raja Najasyi, penguasa negeri Habasyah ketika beliau mendengar kabar tentang kematiannya. Rasulullah SAW juga melakukan shalat gha’ib untuk Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhuma ketika beliau mendengar bahwa keduanya telah gugur sebagai syahid di Mu’tah (yakni nama daerah tempat berkecamuknya peperangan yang dahsyat. Di mana jumlah kaum muslimin tidak seimbang dengan bala tentara Romawi).” (Al-Fiqh al-Wadhih min al-Kitâb wa al-Sunnah, juz I, hal 417)

Namun demikian, shalat ghâ’ib tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk bolehnya shalat gha’ib. Yakni dengan syarat sulitnya untuk datang melakukan shalat mayyit. Syaikh Nawawi (Al-Bantani Al-Jawi-ed.) dalam kitabnya Nihayah al-Zain menyatakan:

والمتجه أن المعتبر المشقة وعدمها. فحيث شق الحضور ولو في البلد لكبرها ونحوها صحت. فحيث لا ولو خارج السور لم تصح كما  نقله الشبرامليسي عن ابن قاسم، فلو كان الميت خارج السور فهو قريبا منه فهو كداخله. والمراد بالقرب هنا حد الغوث. (نهاية الزين في إرشـــاد المبتدئين، ١٦٠)

“Menurut pendapat yang muttajah (yang dianggap kuat), bahwa yang diperhitungkan dalam kebolehan shalat ghaib adalah ada atau tidak adanya masyaqqah (kesulitan). Maka, ketika ada kesulitan untuk menghadiri shalat jenazah, sekalipun dalam satu daerah, karena daerahnya terlalu luas atau lainnya, maka sah melakukan shalat ghaib. Jika tidak ada kesulitan, sekalipun di luar daerah, maka tidak sah. Sebagaimana yang dikutip oleh al-Syabramallisi dari Ibn Qasim. Maka andaikata ada mayyit yang ada di luar daerah tapi masih dekat, maka dianggap masih di dalam daerahnya. Yang dimaksud dengan dekat di sini adalah batas jangkauan suara orang berteriak.” (Nihayah al-Zain, 160)

Paparan di atas mengantarkan kita pada kesimpulan, bahwa shalat ghaib hukumnya boleh selama memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan seperti mayyit berada di daerah lain yang sulit dijangkau sebagaimana yang dilaksanakan Rasûlullah SAW untuk Raja Habasyah.

0 Komentar

Posting Komentar