Apa itu Madzhab Fiqih, dan kenapa ada 4 Madzhab.?

Apa itu Madzhab

Dalam kehidupan beragama, istilah madzhab sudah lazim kita dengar. Dan sudah menjadi kesepakatan bahwa dalam fiqh, NU berpegangan pada salah satu madzhab yang empat, yakni Madzhab Hanafî, Mâlikî, Syâfi'î, dan Madzhab Hanbalî. Hal ini berarti semua warga Nahdhiyyîn diberi kebebasan untuk mengikuti salah satu aturan yang berlaku dalam empat madzhab tersebut, Lalu sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan madzhab itu? Apakah memang ada kebebasan bermadzhab? Dan kenapa hanya empat madzhab yang lebih populer dan diakui oleh kalangan umat Islam?

Jawab:

Secara bahasa madzhab berarti jalan.

المذهب هو الطريقة . (القاموس المحيط ، ٨٦)

"Madzhab berarti jalan". (Al-Qâmûs al-Muhîth, 86)

Sedangkan pengertian madzhab secara istilah sebagaimana dijelaskan oleh KH. Zainal Abidin Dimyâthî dalam kitabnya al-Idzâ'ah al-Muhimmah adalah:

المذهب هو الأحكام في المسائل التي ذهب واعتقد واختارها الإمام المجتهد . (الإذاعة المهمة في بيان مذهب أهل السنة والجماعة ، ١٨)

"Madzhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid." (Al-Idzâ'ah al-Muhimmah, 18)

Madzhab tidak akan terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath'î) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib, zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih menjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.

Jadi, madzhab itu merupakan hasil elaborasi (penelitian secara mendalam) para ulama untuk mengetahui hukum Tuhan yang terdapat dalam al-Qur'ân, al-Hadîts serta dalil yang lainnya. dan sebenarnya, madzhab yang boleh diikuti tidak terbatas pada empat saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid 'Alawî bin Ahmad al-Seggaf dalam Majmû'ah Sab'ah Kutub Mufidah:

وليست المذاهب المتبوعة منحصرة في الأربعة بل لجماعة من العلماء مذاهب متبوعة أيضا كالـشفيائين واسحاق بن راهوية و داود الظاهري والأوزاعي. (مجموعة سبعة كتب مفيدة، ص ٥٩)

"(Sebenarnya) yang boleh diikuti itu tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja. Bahkan masih banyak madzhab ulama (selain madzhab empat) yang boleh diikuti, seperti madzhab dua Sufyan (Sufyan al-Tsaori dan Sufyân bin 'Uyainah), Ishâq bin Râhawaih, Imam Dâwûd alZhâhirî, dan al-Awza'î." (Majmû'ah Sab'ah Kutub Mufîdah, 59)

Namun, mengapa yang diakui serta diamalkan oleh ulama golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah hanya empat madzhab saja? sebenarnya, yang menjadi salah satu faktor adalah tidak lepas dari murid-murid mereka yang kreatif, yang membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga semua pendapat imam tersebut dapat terkodifikasikan dengan baik. Akhirnya, validitas (kebenaran sumber dan salurannya) dari pendapatpendapat tersebut tidak diragukan lagi. Di samping itu, madzhab mereka telah teruji ke-shahîhan-nya, sebab memiliki metode istinbâth (penggalian hukum) yang jelas dan telah tersistematisasi dengan baik, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, sebagaimana yang diuraikan oleh Sayyid 'Alawi bin Ahmad al-Seggaf:

جمع من أصحابنا بأنه لايجوز تقليد غير الأئمة الأربعة صرح فقد وعلوا ذلك بعدم الثقة بنسبته الـــــــى أربابه لعدم الأسانيد المانعة من التحريف والتبديل بخلاف المذاهب الأربعة فإن المتها بذلوا أنفسهم في تحرير الأقوال وبيان ماثبت عن قائله ومالم يثبت فأمن أهلها من غيير وتخريف وعلموا الصحيح من الضعيف. (مجموعة سبــــعة كتب مفيدة، ص ٥٩)

"Segolongan ulama dari kalangan madzhab Syafi'î RA menjelaskan bahwa tidak boleh ber-taqlîd kepada selain madzhab yang empat, karena selain yang empat itu jalur periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan. Berbeda dengan madzhab yang empat. Para tokohnya telah mencurahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta mereka juga mengetahui pendapat yang shahîh dan yang dha'îf." (Majmû'ah Sab'ah Kutub Mufîdah, 59)

Pada perkembangan selanjutnya para Ulama pesantren. terus menerus berusaha untuk mengembangkan sistem bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan tak mungkin dielakkan, sementara fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam dituntut untuk dapat berkreasi dalam memecahkan berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan baru' guna membuktikan slogan

صالح لكل مكان وزمان

Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan fiqh sosial sebagai upaya mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermazhab metodologis (madzhab manhajî) dalam fiqh Islam, sebagaimana digagas oleh DR. KH. Sahal Mahfudh.

Mengutip hasil halaqah P3M, ada beberapa ciri yang menonjol dalam fiqh Sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab secara tekstual (madzhab qawlî) menuju pola bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajî), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan membedakan ajaran yang pokok (ushûl) dan yang cabang (furu), dan pengenalan metodologi filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH. Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003)

Namun demikian, usaha ini hanya bisa dilakukan dalam persoalan sosial kemasyarakatan (hablun min al-nâs), tetapi tidak bisa masuk pada wilayah hubungan seorang hamba kepada khâliqnya (hablun minallâh). Artinya, dalam hubungan dengan sesama manusia, kaum muslimin harus mampu membuat berbagai terobosan baru untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun itu tidak berlaku dalam hubungan vertikal seorang hamba dengan Sang Khaliq. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah adalah kepatuhan seorang hamba yang tunduk dan pasrah hanya menyembah kepadaNya. Sebagaimana sebuah kaidah yang diungkapkan oleh alSyâthibî dalam al-Muwâfaqât-nya:

الأصل في العبادة بالنسبة إلى المكلف العيد دون الالتفات إلى المعاني . واصل العادات الالتفات إلى المعاني . (الموافقات في اصول الاحكام ، ج ۲ ص ۳۰۰)

"Asal dalam masalah ibadah adalah ta'abbud, tanpa perlu melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu'amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan maknanya (esensinya)." (Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, juz II, hal 300)

Dari penjelasan sederhana ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan, Pertama, madzhab merupakan sebuah ‘jalan' yang 'disediakan' oleh para mujtahid sebab adanya perbedaan pendapat di antara mereka. Kedua, umat Islam tidak harus terikat pada satu madzhab tertentu, tetapi mereka diberi kebebasan untuk memilih madzhab. Namun, ketiga, yang berhak' diikuti hanya terbatas pada empat madzhab saja, yakni madzhab Hanafî, Mâlikî, Syâfi î dan Hanbalî. Dan keempat, umat Islam perlu mengembangkan pola bermadzhab yang dapat menjamin kemaslahatan masyarakat, khususnya masalah sosial kemasyarakatan dalam hubungannya dengan sesama manusia.

0 Komentar

Posting Komentar