Kalangan yang paling berlebih-lebihan adalah kaum teolog. Mereka mengafirkan Muslim awam dengan asumsi bahwa, "Barangsiapa yang tidak mengerti kalam sebagaimana pengetahuan kami, juga tidak tahu dogma-dogma Syariah dengan dalil-dalil yang telah kami susun maka ia adalah kafir." Kaum teolog ini pertama telah menyempitkan rahmat Allah yang Mahaluas atas hamba-hamba-Nya, dan kedua mereka memonopoli Surga sebagai milik sekelompok kecil kaum teolog serta mengabaikan sunnah-sunnah mutawatir. Pada zaman Rasulullah dan para Sahabat, mereka misalnya bertoleransi menghukumi sekelompok orang Arab yang bergulat dengan paganisme. Mereka toh kala itu tidak mengerti sama sekali masalah 'ilm ad-dalil. Dan kalaupun mempelajarinya, mereka juga belum tentu bisa memahaminya. Jadi barangsiapa yang mengklaim bahwa mudrak al-iman adalah dialektika kalam, dalildalil abstrak dan kategori-kategori bertingkat maka ia telah melakukan bid'ah. Iman lebih merupakan cahaya yang ditanamkan Allah di hati hambahamba-Nya sebagai pemberian dan hadiah dari sisiNya; terkadang dengan bukti dari batin (dalam) yang tidak mungkin diungkapkan, terkadang lagi lewat mimpi sewaktu tidur, terkadang juga lantaran menyaksikan seseorang yang tekun beragama (mutadayyin) dan pancaran sinarnya ketika duduk di samping menemaninya, dan terkadang pula melalui qarinah hal (indikasi situasi-kondisi).
Alkisah seorang laki-laki pedalaman datang menghadap Nabi Saw. sambil mengingkari dan memungkirinya. Namun begitu pandangan matanya jatuh ke paras muka Rasulullah yang elok, Allah lalu menambah kemuliaan dan kehormatan beliau, maka orang tadi pun melihat paras itu mencorong oleh cahaya kenabian dan langsung berseru, "Demi Tuhan, ini bukan wajah pembohong.” Ia memohon pada Rasul untuk berkenan memaparkan tentang Islam dan kemudian menyatakan keislaman. Lakilaki lain datang menghadap beliau dan bertanya, "Sumpah demi Tuhan, Tuhan mengutusmu sebagai Nabi?!" Beliau menjawab, "Demi Allah, Allah telah mengutusku sebagai Nabi." Orang tadi pun langsung mempercayai sumpah itu dan menyatakan diri masuk Islam. Kasus-kasus seperti ini banyak sekali hingga tidak terhitung lagi. Dan tidak ada di antara satu pun orang seperti itu yang mendalami kalām dan belajar disiplin berargumentasi. Akan tetapi cahaya keimanan lebih tampak di hati mereka bagaikan sinar putih, kemudian semakin bertambah terang dengan menyaksikan kejadian-kejadian agung, membaca Alquran dan mensucikan hati. Saya pikir tidak pernah ada satu riwayat dari Nabi atau dari Sahabat pun yang menceritakan kisah keislaman orang Arab pedalaman, lalu Nabi atau Sahabat memaparkan kepadanya dalil-dalil bahwa alam itu budus (baru, tidak kekal) dan sesuatu yang baru tidak lepas dari aksiden-aksiden, atau dengan bahasa lain sesuatu yang tidak lepas dari ḥawadis maka ia berarti ḥādis (baru). Juga tidak memaparkan dalil-dalil bahwa Allah itu Mahatahu dengan ilmu dan Mahakuasa dengan kekuasaan, dan sifat ini merupakan zaidah (komplemen) atas gāt (inti), dalam artian sifat-sifat tersebut bukan Dia dan bukan pula lain-Nya, atau konsepsi-konsepsi kaum teolog lainnya.
Saya tidak mengatakan bahwa lafal-lafal seperti ini dan yang semaknanya tidak berlaku. Hanya saja epos yang ada lebih menguak tentang kelompok orang pandir yang masuk Islam di bawah bayangan pedang, serta kelompok tawanan yang cepat atau lambat masuk Islam satu persatu. Dan jika mereka telah mengucapkan syahadat, mereka pun hanya diberitahu kewajiban salat dan zakat, lalu kembali ke pekerjaan mereka sebagai penggembala kambing dan lain-lain. Saya juga tidak memungkiri bahwa pemaparan dalil-dalil kaum teolog termasuk faktor penyebab keimanan dalam kasus sebagian orang, tapi hal itu jarang terjadi. Yang lebih efektif dan bermanfaat adalah orasi maw'izah (nasehat) sebagaimana yang dikandung oleh Alquran. Sementara orasi yang disusun dengan konsep kaum teolog malah kebanyakan menimbulkan kesan minor di hati audiens, bahwa di orasi tersebut lebih mengalir nada perdebatan yang susah dijangkau oleh orang awam. Bahkan hal itu malah terkadang menambah permusuhan di hatinya, alih-alih membujuknya. Karena itulah, tidak akan pernah kamu lihat di majelis debat kaum teolog dan ulama fiqh ada orang yang berpindah dari Mu'tazilah ke mazhab lain, juga misalnya dari mazhab Syafi'i ke mazhab Ḥanafi, atau sebaliknya. Perpindahan mazhab dan ideologi seperti ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor lain hingga dalam peperangan dengan pedang. Dan dengan pertimbangan inilah, tidak berlaku juga di kalangan kaum salaf tradisi dakwah dengan pendekatan debat seperti ini. Bahkan mereka cenderung memperketat ruang gerak orang yang berkecimpung dalam disiplin kalām (teologi) serta berkutat dengan pencarian dan pertanyaan.
Mempertimbangkan bahaya-bahaya yang ditimbulkan, tanpa bermanis kata kami menyatakan bahwa pergulatan dalam kalam adalah haram, kecuali bagi salah satu dari dua orang dengan spesifikasi sebagai berikut:
Pertama, orang yang terjebak syubhat namun keraguan itu tidak bisa hilang dari hatinya dengan perkataan bersifat nasehat atau dengan informasi yang diriwayatkan dari Rasulullah. Jika demikian halnya maka orasi teologikal yang mampu menghilangkan syuhbat dan menjadi obat penawar sakit dirinya dibolehkan. Maka ia bisa menggunakan kalam ini sebagai tameng diri untuk selalu menyimak informasi yang benar yang tidak mengandung virus penyakit yang bisa melengserkannya dari keyakinan yang sahih.
Kedua, orang yang mempunyai kesempurnaan akal, kemantapan beragama, kekohohan iman dengan cahaya-cahaya keyakinan, lalu ia ingin memperoleh keterampilan kalam ini untuk ia gunakan sebagai obat penawar jika sewaktu-waktu ia tertimpa syubhat, juga untuk senjata pembungkam orang-orang yang bid'ah dan tidak serius dalam beragama, serta sebagai tameng diri jika diserang oleh kaum bid'ah.
Sebenarnya mempelajari disiplin kalam (teologi) dengan misi demikian termasuk fardu kifayah (kewajiban komunal), sementara yang wajib personal bagi setiap orang yang sedang bermasalah adalah mempelajari disiplin ini sebatas bisa menghilangkan keraguan dan menamengi diri dari syubhat jika memang sudah tidak dimungkinkan lagi mengembalikan keyakinannya yang sudah pasti kecuali dengan cara tersebut. Namun yang jelas dan pasti, bahwa setiap orang yang meyakini ajaran yang didatangkan oleh Rasulullah dan termuat dalam Alquran dengan keyakinan yang pasti maka ia telah menjadi Mukmin meskipun ia sama sekali tidak mengerti masalah dalil-dalilnya. Kenyataan lain, keimanan yang berdasarkan dalil-dalil teologi sangat lemah sekali dan sangat rentan tergelincir dengan sedikit syubhat saja. Malah keimanan yang kokoh adalah keimanan orang awam yang termanifestasikan di dalam hatinya sejak bayi dengan sistem simak mutawatir, atau yang ia peroleh di saat balighnya dengan qarinab-qarinah situasi yang tidak mungkin diungkapkan.
Lebih lanjut, kesempurnaan keyakinan diperoleh dengan jalan konsistensi beribadah dan zikir. Barangsiapa yang rajin beribadah hingga mencapai hakikat takwa dan pensucian batin dari noda-noda keduniaan, serta senantiasa berzikir menyebut Allah, maka akan mengemuka di hadapannya cahaya-cahaya pengetahuan dan hal-hal yang sebelumnya ia adopsi secara taklid pun baginya seperti kesaksian mata (mu'ayanah-musyahadah). Dan itulah esensi pengetahuan (ma'rifah) yang tidak bisa diperoleh kecuali setelah keteruraian blunder keyakinan dan keterbukaan dada (baca: hati) oleh cahaya Tuhan. Allah berfirman: "Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya.” (Q.S. az-Zumar [39]: 22) Ketika dikonfirmasi mengenai makna ‘keterbukaan hati' (dalam ayat tersebut), Rasulullah menjelaskan: "(Adalah) cahaya yang dilemparkan Allah di hati orang Mukmin.” “Lalu tandatandanya?” tanya para Sahabat. Beliau menjawab: "Berpaling dari alam tipu daya (dunia) dan kembali ke alam keabadian (Akhirat)." Dengan demikian, seorang ahli kalam yang menerima keduniaan yang fana bukanlah orang yang mendapatkan hakikat pengetahuan. Karena jika ia mendapatkannya, ia pasti akan berpaling dari dunia.
0 Komentar