Dari pengafiran-pengafiran di atas, dapat kita pahami bahwa klarifikasi pengafiran terkait dengan beberapa faktor, antara lain:
Pertama, naṣṣ syar'i yang dialihkan aspek eksoteriknya, apakah ia membuka ruang takwil atau tidak. Jika iya, apakah takwil tersebut dekat (mempunyai kaitan, penj.) atau jauh (mengada-ada, penj.)? -
Mengetahui dan memilah teks yang terbuka bagi penakwilan dan teks yang tertutup sama sekali bukanlah pekerjaan yang remeh, bahkan hanya bisa dilakukan oleh orang yang mahir dan berkompeten lama dalam disiplin ilmu bahasa, serta mengetahui dasar-dasarnya, juga mendalami tradisi orang Arab dalam menggunakan isti’ārah, tajawwuz dan metodologi mereka dalam membuat permisalan.
Kedua, selanjutnya harus diteliti juga apakah nass tersebut ditetapkan dengan mekanisme mutawatir, aḥad, atau sekadar Ijma'. Jika memang ditetapkan dengan pola mutawatir, apakah ia telah memenuhi syarat mutawatir atau belum, karena bisa-bisa juga hal itu hanya berdasar persepsi saja. Batasan mutawatir adalah kepastian yang tidak diragukan lagi seperti pengetahuan tentang keberadaan para nabi, keberadaan negara-negara yang terkenal dan lainnya. Pengetahuan tentang hal tersebut berlaku mutawatir dari masa ke masa hingga era kenabian. Lalu mungkinkah terjadi keminusan jumlah mutawatir dalam satu rentang masa? Mutawatir mensyaratkan kelengkapan jumlah ini sebagaimana dalam Alquran. Sementara dalam kasus-kasus di luar Alquran, hal tersebut sangat misterius dan hanya mampu dijangkau oleh para peneliti yang berkutat dalam penelaahan kitab-kitab sejarah, kondisi masa lalu, kitab-kitab hadis, status orang per orang pembawa hadis, dan misi mereka dalam mentransfer statemen-statemen. Bisa jadi syarat jumlah personal mutawatir sudah terpenuhi di setiap rentang masa, hanya saja hal itu tidak terjangkau oleh pengetahuan. Hal ini berdasarkan persepsi bahwa dalam komunitas yang besar dipastikan adanya ikatan harmoni, apalagi setelah munculnya geliat fanatisme di antara para pemilik mazhab. Karena itulah kamu lihat kaum Syi'ah Rafidah mengklaim nass kepemimpinan ‘Ali Ibn Abi Talib ra. karena tingkat tawatur dari nass tersebut menurut versi mereka, bahkan banyak dijumpai nass yang mutawatir di kalangan luar mereka bertentangan dengan ke-mutawatir-an versi mereka karena keeratan harmoni kaum Rafidah dalam menegakkan kebohongan-kebohongan mereka dan menarik massa.
Sementara itu ketetapan yang didasarkan pada Ijma' lebih ambigu lagi dan paling susah dicapai. Ketatapan Ijma' mensyaratkan berkumpulnya ahl al-ḥall wa al-'aqd dalam satu meja, lalu secara aklamasi mereka menyetujui satu masalah dengan lafal lugas, kemudian hal itu harus bertahan pada satu komunitas dalam satu generasi hingga sempurnanya putaran masa dalam komunitas tersebut. Atau, kalau tidak, imam dari seluruh pelosok bumi menuliskan pendapat mereka, lalu fatwa mereka dikumpulkan dalam satu genggaman kesepakatan yang terang (sarib) sehingga tidak bisa diganggu gugat dan diperselisihkan setelahnya. Muncul pertanyaan ambigu di sini, apakah orang dari generasi selanjutnya yang menentang Ijma' ini bisa dikatakan kafir? Orang ini termasuk kalangan yang menyatakan jika pada masa terbentuknya itu saja orang boleh berbeda pendapat, maka tidak dilarang jika ada salah seorang di antara mereka yang kemudian mencabut kesepakatannya.
Ketiga, harus dilihat pula apakah si empu pendapat menerima khabar itu secara mutawatir atau hanya Ijma'. Ke-mutawatir-an bagi setiap orang yang dilahirkan tidak terjadi otomatis, begitu juga Ijma' bagi mereka tidak bebas dari tema-tema penyebalan. Ke-mutawatir-an ini diperoleh sedikit demi sedikit dengan menelaah kitab-kitab tentang polemik pendapat dan Ijma' di kalangan kaum salaf, bukan hanya satu dua kitab saja, hingga terungkap ke-mutawatir-an Ijma'. Abu Bakr al-Farisi (semoga Allah mengasihinya) telah menyusun sebuah kitab yang membahas masalah-masalah Ijma', namun banyak yang mengingkari dan menyelisihinya dalam beberapa masalah. Dengan demikian, orang yang menentang Ijma' namun tidak menetapkan Ijma' serupa setelahnya (sebagai pengganti), maka dia adalah orang bodoh dan keliru, namun belum bisa disebut pembohong (mukaġġib) sehingga tidak bisa dikafirkan.
Keempat, mengamati dalil yang ia gunakan yang mendorongnya untuk menyempal dari eksplisit teks, apakah dalil tersebut telah memenuhi syarat sebagai burhan atau tidak? Untuk pengetahuan dan penjelasan mengenai syarat burhan ini sebenarnya memerlukan berjilid-jilid kitab. Adapun parameter yang kami paparkan dalam al-Qistas al-Mustaqim dan Muḥik an-Nazr hanyalah sampel paradigma dari hal tersebut. Namun, bagaimanapun kejelasan status burban ini harus diketahui, karena jika memang bukti argumentatif yang ia pakai pasti atau definitif (qat'i) maka hal itu akan memberikan keringanan baginya untuk melakukan takwil, meskipun jauh bagaimana pun. Sementara jika burhan yang ia gunakan tidak pasti, maka ia hanya boleh melakukan takwil dalam hal-hal yang dekat dan sudah umum dipahami.
Kelima, meneliti ekses pemaparan pendapat tersebut, apakah ekses bahayanya besar bagi stabilitas umat beragama atau tidak? Jika publikasi satu pendapat tidak terlalu membahayakan bagi agama, maka masalahnya mudah-mudah saja. Akan tetapi jika masalahnya sudah menyangkut pendapat yang mengerikan dan jelas-jelas kebatilannya seperti pendapat Syi'ah Imamiyyah tentang Imam Mahdi Yang Dinanti, bahwa sang Imam bersembunyi di bunker sambil menanti saat yang tepat untuk keluar. Ini merupakan pendapat yang mengada-ada, jelas kebatilannya dan sangat mengerikan. Hal ini memang tidak terlalu membahayakan bagi agama, melainkan hanya membahayakan bagi akidah orangorang bodoh yang meyakini hal tersebut. Orang bodoh ini setiap hari harus keluar dari kampungnya untuk menyambut kedatangan sang Imam, namun ia harus pulang dengan terhina. Artinya, kita tidak seyogianya mengafirkan setiap halusinasi (atau pendapat yang irasional) meski sejelas apa pun kebatilannya.
Jika memang kamu sudah mengerti bahwa mekanisme pengafiran tergantung pada keseluruhan kriteria di atas yan tidak mungkin dikaji hanya oleh satu per satu tokoh yang paling menonjol di antara mereka misalnya, maka orang yang terburu-buru mengafirkan begitu saja setiap orang yang berbeda pendapat dengan Asy'ariyyah atau lainnya adalah orang bodoh dan tolol. Bagaimana mungkin seorang faqib yang hanya mengerti masalah figh mampu mengkaji sendiri wacana-wacana besar ini, lalu seberapa persen disiplin figh-nya mampu menjangkau ilmu-ilmu ini? Karena itu, jika kamu lihat seorang faqih yang hanya berkecimpung dalam ranah figh berkutat dalam pengafiran dan penyesatan, maka berpalinglah kamu dari faqih tersebut, dan jangan kamu gubris orang tersebut dalam hati dan lisanmu. Menghadapi tantangan ilmu adalah insting dalam setiap watak manusia yang tidak bisa disabari oleh orang-orang bodoh. Karena itulah, banyak terjadi friksi di antara manusia. Makanya, andai masalah tersebut lepas dari sentuhan tangan-tangan orang yang tidak mengetahui, niscaya skala perbedaan dan konflik di antara manusia akan mengecil.
0 Komentar