Terjemah Fasl at-Tafriqah Takwil | Imam al-Gazali

Etika Berakidah

TAKWIL


Sekarang simaklah kanun takwil. Kamu tentu sudah mengetahui ittifaq al-farq (sinkronisasi perbedaan) kelima tingkatan wujud di atas dalam penakwilan, bahwa ada sesuatu dari hal tersebut yang merupakan lingkaran kebohongan dan kebolehan hal tersebut juga tergantung pada argumentasi atas kemustahilan eksoterik. Zahir pertama (yang harus dicari) adalah wujud žati. Jika wujud ini tetap, maka keseluruhan akan terjamin. Namun jika tidak, maka (harus dicari) wujud inderawi. Jika wujud ini tetap maka wujud setelahnya akan terjamin. Jika tidak, maka harus diteruskan pada wujud khayali atau ‘aqli. Dan jika tidak juga, baru wujūd syibhi metafor ditampilkan. Tidak ada dispensasi lagi untuk berpaling dari tingkatan ini pada tingkatan di bawahnya kecuali karena urgensi bukti sehingga perbedaan pun dirujukkan pada realisasi kebenaran bukti-bukti. Mazhab Ḥanbaliyyah misalnya, berpendapat: "Tidak ada bukti kemustahilan spesifikasi ‘arah mata angin' bagi Allah." Menanggapi pendapat itu, mazhab Asy'ariyyah mengemukakan bahwa tidak ada burhan atas kemustahilan melihat Allah. Seolah-olah setiap kelompok tidak rela dengan pendapat yang dipaparkan lawan polemiknya dan bersikap a priori dalam melihat dalil mereka. Dan bagaimana pun caranya, masing-masing seolah-olah berlomba mengkafirkan satu sama lain dengan dalih telah keliru dalam berargumentasi sehingga boleh menyebut mereka sebagai sesat atau bid'ah. Sesat karena ia telah tersesat dari jalan (yang benar) versi satu pihak, dan bid'ah karena telah merekayasa pendapat yang belum pernah dinyatakan oleh kaum Salaf Saleh. Mazhab Asy'ariyyah misalnya, menyatakan bahwa pendapat yang masyhur di lingkungan kaum Salaf adalah bahwa Allah Swt. melihat, makanya pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak melihat adalah bid'ah dan kelugasan penakwilan melihat juga termasuk bid'ah, bahkan jika mengemuka padanya bahwa melihat bermakna persaksian hati, maka ia juga tidak seharusnya mengemukakan dan menyebutkannya karena kaum Salaf tidak pernah menyinggungnya. Namun dengan senjata ini pula, mazhab Ḥanbaliyyah menuduh setiap sekte yang tidak mengakui 'fawqiyyah' (transendensi) bagi Allah, karena 'keatasan' Allah merupakan pendapat yang masyhur di kalangan kaum Salaf. Begitulah masing-masing terjebak saling menyalahkan tanpa ada satu pun yang menyebutkan bahwa Sang Pencipta alam semesta tidak terkait dengan alam, juga tidak terpisah, masuk di dalamnya atau di luarnya. Juga bahwasanya keenam arah mata angin (utara-selatan-timur-barat-atasbawah) kosong dari-Nya. Jika penisbatan arah atas pada Allah disamakan dengan penisbatan arah bawah, maka ini merupakan pendapat bid'ah yang membuat inovasi baru aforisma yang bukan berasal (gayr ma'surah) dari kaum Salaf.

Selanjutnya kami petakan di sini dua maqām (posisi) dalam menyikapi masalah takwil.

Pertama. magam orang awam. Dalam konteks ini sikap yang benar bagi mereka adalah itba' (mengikuti) dan mencegah diri untuk tidak mengutak-atik makna zahir, berhati-hati untuk tidak mengemukakan statemen takwil baru yang belum pernah dikemukakan oleh para Sahabat, menutup pintu pertanyaan serapat-rapatnya dan menolak untuk berkecimpung dalam wacana kalām dan penelitian, serta tidak mengikuti apa yang masih syubbat (ambigu) dalam Alquran dan Sunnah. Alkisah Umar Ibn al-Khaṭṭab ketika ditanya oleh seseorang tentang dua ayat yang saling kontradiktif, beliau malah langsung memukul orang tersebut dengan durrab (pelepah korma). Begitu juga ketika Imam Malik ra. ditanya tentang istiwa, beliau menjawab: istiwa’ sudah maklum adanya dan wajib diimani, sementara kayfiyah (teknik)-nya tidak diketahui, dan bertanya-tanya serta mengusik hal ini adalah bid'ah.

Kedua. magam para pemikir yang dijejali dengan dogma-dogma aforistik dan perawian. Penelitian mereka harus dilakukan sebatas urgensi serta harus mengakui juga kebenaran para nabi dan zahir zanni. Mereka inilah (Zindiq Muqayyad) yang dimaksudkan dalam sabda Nabi Saw: "Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, semua masuk Surga kecuali zindiq, dan mereka hanya satu golongan saja." Ini adalah versi redaksional hadis dalam beberapa riwayat. Eksplisit teks hadis memang menunjukkan bahwa yang Nabi maksud sebagai Zindiq adalah dari kalangan umatnya secara umum. Namun barangsiapa yang tidak mengakui kenabian Rasulullah jelas bukan termasuk umatnya. Orang yang mengingkari Kebangkitan Kembali dan eksistensi Sang Pencipta berarti tidak mengakui kenabiannya, karena mereka berpendapat bahwa kematian adalah non-sense dan dunia ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Mereka juga tidak mengimani Allah dan Hari Akhir, bahkan menisbatkan kerancuan pada para nabi. Maka melihat kenyataan ini mereka jelas tidak bisa dinisbatkan sebagai bagian dari umat ini. Dengan demikian tidak ada makna bagi Zindiq umat ini kecuali yang kami paparkan (Zindiq Muqayyad).

0 Komentar

Posting Komentar