Etika Berakidah |
ZINDIQ MUTLAK
Penjelasan tentang apa yang harus dikafirkan dan yang tidak boleh dikafirkan menuntut perincian yang menghajatkan penyebutan setiap pendapat dan mazhab, lalu menerangkan syubhat masing-masing, dalil berikut penjelasan tentang aspek kejauhannya dari zabir dan aspek takwilnya, hal ini jelas tidak cukup berjilid-jilid kitab saja, lagi pula waktu saya juga tidak cukup memungkinkan untuk menjelas kan kesemuannya. Maka, cukuplah sekarang kame puas dengan rekomendasi dan kanun.
Rekomendasi
Kamu harus mencegah lisanmu dari mengafirkan Ahli Kiblat (baca: orang Islam) sebisamu selama mereka masih mengucapkan “La ilaha illa Allah, Muḥammad Rasul Allab" (Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah) dan tidak menganulirnya, dalam artian tidak membolehkan dusta atas Rasul dengan atau tanpa uzur. Pengafiran menyimpan bahaya dan diam tidak berbahaya sama sekali
Kanun
Kamu harus tahu bahwa diskursus nazariyat terbagi menjadi dua kategori, yaitu kategori yang berhubungan dengan prinsip-prinsip akidah dan kategori yang berkaitan dengan furu' (cabang). Adapun pilar iman sebagai Usul al-Qawa'id ada tige iman pada Allah, iman pada rasul dan iman pada Hari Akhir. Dan selain itu adalah furu” (cabang). Sebenarnya tidak ada pengafiran dalam masalah furu' kecuali dalam kasus mengingkari satu pilar agama yang diketahui dari rasul secara mutawatir. Akan tetapi yang berlaku dalam ranah fiqhiyyah (masalah ijtibadi yang tidak berketetapan tekstual tingkat mutawatir) adalah sebatas penyalahan dan pembid'ahan (dan belum sampai pada tataran pengafiran), seperti kasus kontroversi imamah dan status Sahabat.
Ketahuilah, menyatakan kesalahan prinsip imamab, penunjukan, syarat-syarat, serta hal-hal yang berkaitan dengannya sama sekali tidak berkonsekuensi kafir. Ibn Kaysan, misalnya, menolak orisinalitas kewajiban imāmah. Namun ia tidak kemudian mengafirkan kalangan yang terlalu mengagungkan masalah imāmah ini hingga menempatkan keimanan pada imam sebagai sejajar dengan keimanan pada Allah, Rasul, dan Hari Akhir. Ia juga tidak mengafirkan kalangan yang mengafirkan mereka karena dogma imāmah ini. Masing-masing sikap hanya berlebih-lebihan dan tidak sampai mendustakan Rasulullah secara prinsipil.
Beda dengan jika mendustakan Rasul dalam tingkat bagaimana pun, maka ia sudah wajib dikafirkan meskipun dalam masalah furi. Misalnya jika ada yang mengatakan bahwa Baitullah yang ada di Makkah bukanlah Ka'bah yang diperintahkan oleh Allah untuk berhaji mengunjunginya, maka ia telah kafir, sebab ketetapan hal ini sudah dikokohkan oleh Rasul secara mutawatir. Jika mengingkari kesaksian Rasulullah yang menyatakannya sebagai Ka'bah maka kemangkirannya non-sense, bahkan ia harus dihukum karena pengingkaran ini, kecuali jika hal tersebut terjadi pada masa-masa awal Islam dan belum sampai kepadanya informasi mutawatir ini. Begitu juga dengan orang yang menuduh 'Aisyah (sebagai) telah berbuat asusila, maka ia telah kafir karena Alquran sudah jelas-jelas menyatakan ketidaksalahannya (not guilty). Mengingkari masalahmasalah seperti ini berarti mendustakan Rasulullah dan mengingkari tawatur. Mungkin orang bisa mengingkari tawātur dengan lisannya, namun ia tidak akan pernah bisa mengabaikannya di dalam hati.
Beda lagi jikalau yang diingkari adalah ketetapan hadis aḥad. Pengingkarnya tidak bisa divonis kafir. Namun jika ia mengingkari Ijma', maka harus diklarifikasi terlebih dahulu sebab mengetahui eksistensi Ijma' sebagai ḥujjah yang pasti banyak memiliki aspek misteri dan ambiguitas yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berkecimpung dalam ranah Usul al-Fiqh sehingga ia tidak bisa disebut bujjah aslan, melainkan masih polemis. Dan demikianlah hukum pengingkaran masalah-masalah furu'.
Adapun dalam tataran ketiga prinsip, atau dengan bahasa lain setiap hal yang tidak mengandung takwil di dalamnya dan proses penyebaran informasinya juga dilakukan secara mutawatir. Maka menentang dan menyelisihi hal-hal seperti itu sudah merupakan bentuk pengingkaran (takġib) murni. Contohnya adalah apa yang sudah kami sebutkan di muka berupa pengumpulan jasad di Padang Maḥsyar, masalah Surga dan Neraka, serta lingkup pengetahuan Allah hingga pada hal-hal sekecilkecilnya dalam diri setiap eksisten. Namun, jika masalahnya masih mengandung ruang penakwilan, meskipun dengan metafor yang jauh, maka hal ini tidak bisa langsung divonis, melainkan harus juga melihat burhan. Jika memang burhan-nya pasti maka redaksi tersebut boleh diinformasikan, namun jika publikasi ini malah membahayakan masyarakat awam karena keterbatasan pemahaman mereka, maka tindakan mempublikasikan demikian adalah bid'ah. Dan jika burhan-nya tidak pasti, melainkan hanya berdasar sangkaan, dan ia juga tidak mengetahui adanya bahaya hal tersebut bagi stabilitas agama, seperti penegasian kaum Mu'tazilah atas melihat Allah, maka ini hanya sekadar bid'ah dan bukan bentuk kekafiran.
Sedangkan hal yang sudah tampak olehnya bahaya publikasinya bagi agama, kemudian dilakukan ijtihad dan penelaahan di dalamnya maka tindakan ini mempunyai peluang dikafirkan dan tidak dikafirkan. Termasuk jenis ini adalah klaim sebagian pseudo-sufi bahwa mereka telah mencapai status (balah) tertentu antara diri mereka dan Allah sehingga gugur baginya kewajiban salat dan dihalalkan pula baginya minum khamr, maksiat, dan memakan gaji dari penguasa. Mereka ini termasuk orang yang tidak diragukan lagi kewajiban untuk dibunuh, meski masalah hukum kekal selamanya di Neraka masih dipersoalkan. Membunuh satu orang seperti ini lebih baik daripada membunuh 100 orang kafir, sebab ekses bahayanya bagi agama lebih besar dan ia juga telah membuka pintu libertinisme yang tidak terbuntukan. Bahaya orang ini juga lebih besar di atas bahaya orang yang mengatakan libertinisme absolut, sebab mereka sudah jelas-jelas kekafirannya sehingga tidak boleh didengarkan dan digubris omongannya, sementara kaum pseudo-sufi ini menghancurkan Syariah dari dalam Syariah. Mereka berpendapat bahwa Syariah sudah tidak menyentuh mereka lagi sebab beban Syariah hanya diberlakukan pada orang yang tidak memiliki derajat beragama seperti mereka. Bahkan mereka santai berkalang maksiat dengan zahir mereka sambil mengatakan bahwa batin mereka suci dan bebas. Perbuatan mereka ini jelas akan diikuti oleh setiap fasiq (orang Islam yang masih suka berbuat maksiat dan durjana, -penj.) dengan mengaku-aku telah mencapai status tertentu sehingga kehormatan dan kesucian agama pun akan terinjak-injak.
Keputusan takfir (pengafiran atas Muslim) atau penafiannya tidak harus selalu ditemukan faktornya secara pasti (absolut) di setiap magām. Takfir merupakan hukum Syara' yang merujuk pada penghalalan harta, pengaliran darah dan vonis kekal di Neraka, sehingga mekanisme pengambilan hukumnya pun sama seperti mekanisme hukumhukum Syara' lainnya; terkadang dengan keyakinan penuh, terkadang juga dengan modal asumsi kuat, dan terkadang lagi dengan keragu-raguan. Harus diingat jika muncul keragu-raguan dalam pengambilan keputusan takfir, maka penghentian proses hukum lebih diutamakan. Terburu-buru mengafirkan adalah watak umum orang-orang yang teriden- tifikasi kebodohan.
Harus dicamkan juga di sini kaidah pengafiran lainnya bahwa jika seorang penyempal menyelisihi nass mutawatir dengan asumsi bahwa nass tersebut boleh ditakwilkan, namun sebenarnya penyebutan takwilnya secara mendasar tidak memiliki bara penyulut, baik dekat maupun jauh, maka orang ini telah kafir dan si empu pendapat telah melakukan takzib pada Rasulullah Saw. meski ia mengklaim hanya menakwil. Contoh kasus ini dapat kamu lihat pada statemen beberapa tokoh Syi'ah Batiniyyah bahwa Allah Mahaesa dengan pengertian bahwa Dia memberi panteisitas dan menciptakannya, Mahatahu dengan pengertian Dia memberi ilmu pada lain-Nya dan menciptakannya, dan Mawjūd dengan pengertian Dia mengadakan yang lain. Jadi Allah tidak eksis sebagai Yang Mahaesa dalam diriNya sendiri serta Mahaada dan Mahatahu dengan makna atributif. Ini jelas-jelas merupakan kekafiran yang lugas sebab memaknai keesaan sebagai Manunggaling Tunggal (ittiḥād al-waḥdah) tidak bisa disebut takwil sama sekali. Hal ini tidak berlaku dalam khazanah bahasa Arab. Jikalau pencipta keesaan disebut Esa karena dia menciptakan keesaan, tentunya dia akan disebut Tri atau Catur saat ia menciptakan jumlah nominal ini juga. Pendapat ini dan sejenisnya merupakan bentuk takġibah (kebohongan) yang dibungkus dengan baju takwil.
0 Komentar