Apakah karamah para wali ada.? Siapa yang mengingkarinya.?

Fatawa Khalili: Apakah karamah para wali ada.? Siapa yang mengingkarinya.?

سئل: عن كرامات الأولياء هل هي جائزة وواقعة أحياء وأمواتا؟ وما حكم منكرها؟ وهل فرق بين الكرامة والمعجزة؟ وهل يصلون في كراماتهم إلى وجود ولد من غير أب وإحياء الموتى؟.

(Ditanya): Apakah karamah para wali itu diperbolehkan dan terjadi baik semasa hidup maupun setelah wafat? Bagaimana hukum orang yang mengingkarinya? Apakah ada perbedaan antara karamah dan mukjizat? Apakah mereka dapat mencapai karamah berupa kelahiran tanpa ayah dan menghidupkan orang mati?

أجاب: نعم هي واقعة وجائزة لهم - نفعنا الله بهم - أحياء وأمواتا، بقصد منهم وبغير قصد، يؤيدهم الله تعالى، لا ينكرها إلا أحد رجلين إما سيئ الاعتقاد كالمعتزلة والزادلية، وإما كثير المعاصي والذنوب والغفلة، فلا يشاهدها منهم، فيؤدي ذلك إلى إنكارها، وإذا تأملت الكتاب والسنة وما نقل تواترا معنويا عن السلف والخلف، بل في كل عصر من الأعشار بل في كل يوم من الأيام؛ إذ ما من يوم إلا ويقع فيه كرامات لا تحصى ولا تعد، ولو جمعت لصارت تواترا معنويا، ومثلوا له بإعطاء حاتم لرجل فرسا ولآخر جملا ولآخر دينارا ولآخر درهما ولآخر طعاما، فثبت بذلك وجوده بالتواتر المعنوي، ولا عجب من قوم ينكرونها لأمور؛ إما لقلة الأولياء ببلادهم. ألا ترى أن البلاد التي ورد أن بها أولياء أهلها لا ينكرون ذلك، كالغرب فإن به النقباء وهم سبعون، ومصر وبها النجباء وهم سبعون، والشام وبها الأبدال وهم أربعون رجلا وأربعون امرأة، ومكة المشرفة وبها القطب والإمامان، والعراق وبها العصائب، وأما رجال الغيب فليس لهم مكان معين يختصون به، وفى الفردوس للديلمي أن لله عز وجل ثلاثمائة، قلوبهم على قلب آدم، وله أربعون قلوبهم على قلب موسى، وله سبعة قلوبهم على قلب إبراهيم، وله خمسة قلوبهم على قلب جبرائيل، وله ثلاثة قلوبهم على قلب ميكائيل، وله واحد قلبه على قلب إسرافيل، وحكم منكرها أنه مبتدع، كالمعتزلة فإنهم أنكروها وحالهم معلوم، ويساويهم في ذلك من أنكرها بعد موتهم. والفرق بين المعجزة والكرامة أن المعجزة فيها تحد؛ أي دعوى المعارضة} وإن كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله {وكرامات الأولياء هى معجزات للأنبياء عليهم الصلاة والسلام؛ لأنهم إنما وصلوا إليها بقوة العزم باتباعهم وشدة المحافظة على أمرهم، والحاصل أن كرامة الولي من بعض معجزات نبيه، لكن لعظم اتباعه له أظهر الله بعض خواص النبي على يد وارثه ومتبعه في سائر حركاته وسكناته، وقد نزلت الملائكة لاستماع قراءة أسيد بن حضير، وكان سلمان وأبو الدرداء يأكلان في صفحة فسبحت الصفحة أو ما فيها، ثم الصحيح أنهم ينتهون إلى إحياء الموتى خلافا لأبي قاسم القشيري، ومن ثم قال الزركشي: ما قاله مذهب ضعيف، والجمهور على خلافه، وقد أنكروه عليه حتى ولده أبو نصر في كتابه المرشد، فقال عقب تلك المقالة: والصحيح تجويز جملة خوارق العادات كرامة للأولياء، وكذا في إرشاد إمام الحرمين، وفى شرح مسلم للنووي: تجوز الكرامات بخوارق العادات على اختلاف أنواعها، وخصها بعضهم بمثل إجابة دعوة ونحوه، وهذا غلط من قائله وإنكار للحسي، بل الصواب جريانها بقلب الأعيان ونحوه. انتهى. وقد مات فرس بعض السلف في الغزو فسأل الله تعالى أن يحييها له حتى يصل بيته فأحياها فلما وصل بيته قال لولده: خذ سرجه فإنه عارية عندنا، فأخذه فخر ميتا. وقال اليافعي: صح بالسند المتصل إلى الشيخ القطب عبد القادر الجيلي - رحمه الله تعالى - أن أم شاب عنده دخلت عليه وهو يأكل في دجاجة فأنكرت أكل الدجاج وإطعامه ابنها أرذل الطعام فقال لها: إذا صار ابنك يقول لمثل هذه الدجاجة: قومي بإذن الله تعالى، فقامت ولها أجنحة فطارت بها حق له أن يأكل الدجاج. ولا ينافى إحياء الميت الواقع كرامة كون الأجل محتوما لا يزيد ولا ينقص؛ لأن من أحيي كرامة فمات إذا بأجله، وحياته وقعت كرامة، وكون الميت لايحيى إلا للبعث، هذا عند عدم الكرامة أما عندها فهو كإحيائه في القبر للسؤال كما صح به الخبر، وقد وقع الإحياء للعزير وحماره وللذين} خرجوا من ديارهم وهم ألوف حذر الموت فقال لهم الله موتوا ثم أحياهم {إذا تقرر ذلك فمن أحيي كرامة فتارة يتيقن موته يقينا ضروريا بنحو قطع رأسه وإبانة حشوته، وهذا إحياؤه لا يعيد له شيئا من زوجاته ولا مما اقتسمته ورثته من أمواله؛ لما تقرر أن هذا كالإحياء الذي في القبر، وتارة لا يتيقن كذلك فتبين أنه لم يزل شيء عن استحقاقه فيعود له، والحاصل أن الإحياء بعد الموت المراد به الإحياء للبعث لا الكرامة أو سؤال الملكين، والله تعالى أعلم

(Dijawab): Ya, karamah itu terjadi dan diperbolehkan bagi mereka - semoga Allah memberi manfaat kepada kita dengan mereka - baik semasa hidup maupun setelah wafat, baik dengan kehendak mereka maupun tanpa kehendak mereka. Allah Ta’ala mendukung mereka. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali dua jenis orang: pertama, orang yang buruk akidahnya seperti kelompok Mu’tazilah dan Zadiliyah; kedua, orang yang banyak maksiat, dosa, dan kelalaian sehingga tidak dapat menyaksikannya, yang kemudian membuatnya mengingkari karamah tersebut.

Jika seseorang merenungi Al-Qur'an, sunnah, dan apa yang telah diriwayatkan secara mutawatir maknawi dari generasi salaf hingga khalaf, bahkan di setiap masa dan hari-hari, ia akan menemukan bahwa tidak ada satu hari pun kecuali terdapat banyak karamah yang tak terhitung jumlahnya. Jika dikumpulkan, ia akan menjadi mutawatir maknawi. Sebagai contoh, pemberian Hatem kepada seseorang berupa seekor kuda, kepada yang lain berupa seekor unta, kepada yang lain berupa dinar, dirham, atau makanan. Hal itu membuktikan keberadaannya melalui mutawatir maknawi.

Tidaklah mengherankan jika ada orang-orang yang mengingkari karamah karena beberapa alasan, seperti kurangnya para wali di tempat tinggal mereka. Perhatikanlah, di negeri-negeri yang dikenal memiliki para wali, penduduknya tidak mengingkari hal itu, seperti di Barat yang memiliki 70 naqib, Mesir dengan 70 najib, Syam dengan 40 abdal laki-laki dan perempuan, Mekah yang mulia dengan quthb dan dua imam, serta Irak dengan ‘asha'ib. Adapun "Rijal al-Ghaib," mereka tidak memiliki tempat tertentu yang khusus untuk mereka.

Dalam kitab al-Firdaws karya al-Daylami, disebutkan bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki 300 orang yang hatinya seperti hati Nabi Adam, 40 orang seperti hati Nabi Musa, 7 orang seperti hati Nabi Ibrahim, 5 orang seperti hati Jibril, 3 orang seperti hati Mikail, dan 1 orang seperti hati Israfil.

Hukum mengingkari karamah adalah bid’ah, sebagaimana yang dilakukan oleh Mu’tazilah yang telah mengingkarinya, dan keadaan mereka sudah diketahui. Orang yang mengingkari karamah setelah wafatnya wali juga memiliki status yang sama.

Perbedaan antara mukjizat dan karamah adalah bahwa mukjizat disertai dengan tantangan untuk membuktikan kebenarannya, seperti firman Allah: “Dan jika kalian ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat yang serupa dengannya” (Al-Baqarah: 23). Karamah para wali adalah bagian dari mukjizat para nabi, karena mereka mendapatkannya melalui kekuatan tekad dalam mengikuti nabi dan keteguhan mereka dalam menjaga perintahnya.

Intinya, karamah seorang wali adalah sebagian dari mukjizat nabinya. Namun, karena keagungan pengikutannya terhadap nabi, Allah menampakkan sebagian dari sifat khusus nabi itu melalui tangan pewarisnya yang mengikuti nabi tersebut dalam segala aspek.

Telah diriwayatkan bahwa malaikat turun untuk mendengar bacaan Al-Qur'an dari Ubay bin Ka'ab. Diceritakan pula bahwa Salman dan Abu Darda makan dari sebuah wadah, lalu wadah tersebut atau isinya bertasbih.

Pendapat yang benar adalah bahwa karamah wali dapat mencapai tingkat menghidupkan orang mati, berbeda dengan pendapat Abu Qasim al-Qusyairi. Oleh karena itu, al-Zarkasyi menyatakan bahwa pendapat al-Qusyairi itu lemah, dan mayoritas ulama menolaknya, termasuk anaknya, Abu Nasr, dalam kitab al-Murshid, yang menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah memungkinkan terjadinya semua hal luar biasa sebagai karamah para wali.

Demikian pula dalam Irsyad karya Imam al-Haramain, dan dalam syarah Shahih Muslim karya al-Nawawi disebutkan bahwa karamah dapat berupa berbagai hal luar biasa, termasuk perubahan benda dan lainnya. Pendapat yang membatasi karamah pada hal-hal seperti terkabulnya doa adalah salah dan mengingkari kenyataan. Yang benar adalah bahwa karamah dapat berupa perubahan hakikat suatu benda dan hal-hal serupa.

Diriwayatkan bahwa kuda milik seorang ulama saleh mati dalam pertempuran, lalu ia memohon kepada Allah untuk menghidupkannya kembali hingga ia sampai di rumahnya. Allah pun menghidupkan kuda tersebut. Sesampainya di rumah, ia berkata kepada anaknya, “Ambil pelana ini karena ini hanya pinjaman bagi kita.” Setelah pelana diambil, kuda itu pun mati kembali.

Al-Yafi’i meriwayatkan dengan sanad yang bersambung kepada al-Quthb Abdul Qadir al-Jailani, bahwa seorang ibu seorang pemuda datang kepadanya ketika ia sedang makan ayam. Wanita itu mengingkari tindakan al-Jailani yang memakan ayam dan memberikannya kepada anaknya yang dianggapnya sebagai makanan hina. Al-Jailani berkata, “Jika anakmu bisa berkata kepada ayam ini, ‘Berdirilah dengan izin Allah,’ dan ayam itu berdiri, maka dia berhak memakan ayam.” Lalu ayam itu hidup kembali, memiliki sayap, dan terbang.

Menghidupkan orang mati sebagai karamah tidak bertentangan dengan ketentuan ajal, karena yang dihidupkan melalui karamah akan tetap meninggal pada ajalnya. Hidupnya merupakan karamah, sebagaimana hidup kembali seseorang di dalam kubur untuk menjawab pertanyaan malaikat, sebagaimana yang telah shahih dalam riwayat.

Demikian pula penghidupan kembali bagi Nabi Uzair, keledainya, dan mereka yang disebutkan dalam firman Allah: “Mereka keluar dari kampungnya dalam jumlah ribuan karena takut mati, lalu Allah berfirman kepada mereka: ‘Matilah kalian,’ kemudian Allah menghidupkan mereka kembali” (Al-Baqarah: 243).

Jika hal ini telah ditetapkan, maka seseorang yang dihidupkan sebagai karamah, ada kalanya kematiannya diyakini secara pasti, misalnya dengan memotong kepalanya atau membedah isi tubuhnya. Dalam kasus ini, hidupnya kembali tidak mengembalikan hal-hal seperti hak-hak pernikahan atau harta warisan yang telah dibagikan kepada ahli warisnya, karena hidupnya kembali ini dianggap seperti hidup di dalam kubur.

Namun, jika kematiannya tidak diyakini secara pasti, maka hak-haknya akan kembali seperti semula. Intinya, penghidupan kembali setelah kematian yang dimaksud adalah penghidupan untuk kebangkitan, bukan karamah atau untuk menjawab pertanyaan malaikat. Allah Ta’ala lebih mengetahui.

0 Komentar

Posting Komentar